675 Juta untuk Medsos: Rakyat Susah, Siapa yang Pesta?

Moscow, Russia, 18-02-2021: clubhouse app icon on smatphone screen surrounded by other social media apps and user run clubhouse. Clubhouse drop-in audio chat social media network. Shallow DOF

AcehGo | Baru-baru ini, Pemerintah Kota Banda Aceh mengalokasikan ± Rp 679 juta dari APBK 2025 untuk pembuatan dan publikasi konten media sosial (Instagram & TikTok). Nilai tersebut dibagi dalam tiga paket, konten untuk akun dengan follower makro (50.000–200.000), akun mikro (10.000–50.000), dan publikasi saja. Namun, alih-alih meredam kritik, kebijakan ini justru memicu pertanyaan besar,  siapa yang benar-benar menikmati uang 675 juta ini?

Influencer / Akun Media Sosial Makro & Mikro
Karena salah satu paket diperuntukkan untuk akun-akun dengan follower besar (kategori makro) dan mikro, jelas sebagian besar dana akan mengalir ke mereka yang mengelola akun-akun tersebut, membuat konten, dan mempublikasikannya.

Penyedia Jasa Konten & Publikasi (Pihak Ketiga)
Dengan metode pengadaan langsung dan kontrak yang sudah ditetapkan di Sirup LKPP, penyedia jasa konten/publikasi akan mendapatkan pembayaran sesuai volume tayangan atau posting yang telah disepakati.

Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Kota Banda Aceh (Diskominfotik)
Diskominfotik sebagai instansi yang mengelola kontrak dan koordinasi konten medial sosial mendapat manfaat administratif dan politis. Mereka jadi pusat perhatian dalam hal komunikasi publik; peran mereka makin strategis dalam bagaimana Pemko “berbicara” melalui media digital.

Meskipun ada manfaat yang bisa didapat, banyak pihak yang mempertanyakan.

Apakah ini pemborosan di tengah kebutuhan rakyat?
Kritik tajam datang dari organisasi masyarakat seperti MaTA dan Aliansi Pemuda/Mahasiswa, yang menyebut alokasi ini sebagai “boros” ketika banyak warga masih menghadapi tekanan ekonomi.

Apakah manfaatnya terukur?
Siapa yang memastikan konten itu memberikan hasil nyata: informasi sampai ke warga, kebijakan publik dimengerti, wisata dan UMKM meningkat, atau cuma “likes & views”? Transparansi dan indikator keberhasilan menjadi sorotan.

Keyword “Buzzer” vs Influencer
Pemerintah membantah bahwa anggaran ini untuk buzzer, melainkan influencer dengan akun yang jelas identitasnya. Tapi sebagian publik tetap skeptis: apakah perbedaan buzzer vs influencer benar-benar terasa dalam praktik?

Siapa SEBENARNYA Penikmatnya? Berdasarkan fakta, yang paling nyata menikmati anggaran Rp 679 juta ini adalah pihak yang menyediakan jasa konten/publikasi, influencer/akun dengan follower yang sesuai, dan institusi pemerintah yang ingin memperkuat komunikasi publik mereka  yakni Diskominfotik dan Pemko sebagai pemesan.

Tapi kalau kita lihat dari sudut rakyat kecil, banyak yang meragukan apakah mereka mendapatkan manfaat langsung, apakah anggaran ini membantu ekonomi mereka, membuka lapangan kerja, meringankan beban mereka? Kalau tidak ada transparansi & laporan hasil, maka alokasi ini bisa dianggap sebagai “penikmatan” dari sisi simbolis/pencitraan lebih daripada manfaat nyata.

Transparansi harus ditingkatkan, sampaikan laporan publik yang jelas tentang siapa yang sudah dibayar, berapa banyak konten yang dibuat, seberapa jauh jangkauannya, dan apa dampak nyata ke masyarakat.

Perlu indikator keberhasilan yang diukur, bukan hanya jumlah postingan atau jumlah follow, tapi juga literasi publik, perubahan perilaku, partisipasi masyarakat, UMKM yang terangkat, dll.

Pemerintah harus mempertimbangkan prioritas dasar rakyat sebelum memutuskan alokasi sebesar ini, terutama di masa ketika masyarakat banyak menghadapi kesulitan ekonomi.

 

Facebook Comments Box